Sragen, Jateng – Seorang ayah tiri berinisial AT (38), warga Jenar, Sragen, terancam hukuman berat hingga 20 tahun penjara dan denda maksimal Rp5 miliar atas dugaan persetubuhan terhadap putri tirinya yang masih duduk di bangku SD.
Kapolres Sragen AKBP Petrus Parningotan Silalahi dalam jumpa pers di Mapolres Sragen pada Selasa (24/6/2025) siang, menegaskan bahwa tindak pidana persetubuhan atau pencabulan anak di bawah umur adalah kejahatan serius yang tidak mengenal konsep “suka sama suka”.
“Konsep suka sama suka itu tidak berlaku ketika sebuah kejahatan seksual melibatkan anak di bawah umur,” tegas Kapolres Petrus.
Ia menjelaskan bahwa anak di bawah umur dianggap belum memiliki kapasitas penuh untuk memberikan persetujuan yang sah.
Di Indonesia, usia legal untuk memberikan persetujuan terkait aktivitas seksual adalah minimal 18 tahun.
"Ini berarti siapa pun yang melakukan aktivitas seksual dengan anak di bawah usia 18 tahun, terlepas dari klaim persetujuan, itu dapat dituntut secara hukum,” imbuhnya.
Pelaku AT dijerat dengan Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak juncto Pasal 76 huruf E juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Ancaman hukuman yang semula 5-15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar kini diperberat menjadi 6-20 tahun penjara dan denda maksimal Rp 5 miliar.
AKBP Petrus juga menyoroti adanya relasi kuasa yang tidak seimbang antara ayah tiri dan anak tiri.
Ayah tiri, yang seharusnya menjadi figur otoritas dan pelindung, justru menyalahgunakan kepercayaannya untuk melakukan tindakan seksual.
“Ketika seorang ayah tiri memanfaatkan kuasanya untuk melakukan tindakan seksual, maka ayah tiri itu melakukan pelanggaran berat dan penyalahgunaan kepercayaan,” jelasnya.
Lebih lanjut, dampak psikologis yang ditimbulkan dari persetubuhan atau pencabulan anak sangat parah dan dapat berdampak jangka panjang, termasuk depresi, kecemasan, gangguan stres pascatrauma, masalah kepercayaan, dan kesulitan dalam hubungan masa depan.
“Klaim suka sama suka tidak menghilangkan dampak itu ke depannya,” kata Kapolres Petrus.
Motif pelaku terungkap saat korban mengalami gatal-gatal akibat ulat. Saat memandikan korban, pelaku timbul nafsu dan ketertarikan setelah melihat bentuk tubuh putri tirinya.
Kejadian tersebut berlanjut hingga hubungan seksual pada 5 November 2024.
“Jadi motif pelaku ini karena adanya nafsu dan ketertarikan,” terang Kapolres.
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Sragen, Yuniarti dalam perannya mendampingi korban menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan asesmen terhadap kondisi korban yang saat ini hamil tujuh bulan.
Korban telah diperiksakan ke puskesmas sebanyak empat kali.
Yuniarti mengungkapkan bahwa kondisi psikis anak masih memiliki rasa terhadap ayah tirinya, sehingga memerlukan pemulihan psikis dan psikologis yang intensif.
Dalam konteks sosial, keberadaan ayah sebagai tulang punggung keluarga menimbulkan kekhawatiran terkait nafkah jika pelaku dipenjara.
Untuk itu, Dinsos akan membawa anak korban ke sentra terpadu di Solo agar dapat melahirkan dengan selamat, sembari menunggu proses hukum berjalan dan memberikan penguatan dari sisi ibadah.
Sementara itu, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (P2TP2A) yang diwakili oleh Krisbudi Harjanti, menegaskan komitmennya untuk mendampingi korban secara psikis guna memastikan hak-hak anak terpenuhi secara optimal, termasuk hak untuk hidup nyaman dan mendapatkan pendidikan.
Kapolres Sragen menekankan pentingnya sosialisasi khusus mengenai tindak pencabulan yang korbannya adalah anak. Fokus utama sosialisasi ini adalah kepada orang tua, sebagai upaya pencegahan agar tidak ada lagi korban di kemudian hari.
Diharapkan dengan penegasan hukum dan pendampingan yang holistik, kasus serupa dapat diminimalisir, dan hak-hak anak sebagai generasi penerus bangsa dapat terlindungi sepenuhnya.
Post a Comment